Skip to main content

Featured

Selain donatur, nggak boleh ngatur

Stop merasa memiliki jika tidak berkontribusi apapun.  Stop merasa menjadi tempat pulang jika sedih pahitnya hidup pun ditanggung dia sendiri. Stop merasa menjadi tempat ternyaman jika lapar dan hausnya Abang gofood yang nganterin. Stop mengatur hidup orang lain jika sandang pangan papan bukan lu yang nyukupin. Stop merasa spesial jika hanya mampu ngetik kata semangat hari ini, bangun, jangan lupa makan, jangan lupa ngising. Heii

W T H With Human


Segala bisikan dan opini negatif orang lain yang seenaknya menilai tanpa mengerti sama sekali apa yang terjadi. Identitas-identitas yang jauh dari realita yang ada dilemparkan di hadapan orang banyak. Meminta orang untuk mengerti posisi kita memang sangat melelahkan. Apalagi membungkam mulutnya dan mengikat tangannya agar tidak menyebarkan identitas hoax akan diri kita. Dari sekian masalah hidup yang paling memuakkan salah satunya adalah ini. Soal orang lain yang memperkenalkan diri kita dengan lebel yang buruk. Seakan tidak ada kebaikan yang lebih baik untuk diperkenalkan. Mungkin diam dan pura-pura tidak terjadi apa-apa merupakan pilihan yang lumayan baik untuk jangka pendek daripada harus langsung bertemu dan bertatap muka yang akan membuat rasa cinta, kasih, dan sayang sesama makhluk hidup menjadi hilang.

Untuk apa berbicara dengan orang yang hanya mengandalkan matanya saja dan menutup telinganya. Untuk apa memaksa orang untuk memakai kacamata untuk mata sebelah kanannya jika dia sudah merasa puas dengan pengelihatan mata sebelah kirinya? Entah sampai kapan orang-orang ini akan hidup menyengsarakan orang lain, merusak reputasi orang lain, dan mungkin menghancurkan masa depan orang lain.

Pahit, pahit, pahit rasanya. 

Media sosial dengan segala bentuknya, memudahkan manusia biadab yang seenaknya ngomong tanpa nge-filter dulu. Entah sedang khilaf atau memang hobi sotoy ngomongin hidup orang, ngomentarin hidup orang tanpa permisi tanpa ngomong, “emm maaf menurut saya lebih baik kamu lebih begini begitu dan begono” dan segampang itu meng-hitam putihkan hidup orang, seakan di dunia ini tidak ada warna lain. Sangkin cuma punya dua warna, gampangan aja ngomongin orang yang pro feminism (misalnya) sebagai orang liberal. Padahal tidak pernah sekalipun duduk bareng dan bertanya poin feminism mana yang dia setujui. Sampai ke cerita orang yang lagi berusaha tumbuh menjadi manusia yang lebih baik tapi malah diomong “ngapain kamu suka ngebantu orang tapi kamu masih belum bener tata kramanya?” sampai akhirnya frustasi dengan kebaikannya dan memilih menjadi orang brengs- karena lebih banyak temennya.

Aku ngomong begini bukan cuma ngehayal tapi pernah liat yang begini dan bahkan pernah diperlakukan demikian. Sebenernya banyak alasan untuk tetep bisa menjadi baik dan fokus dengan apa yang kita lakukan ke orang lain, bukan pada apa yang orang lain katakan tentang kita. Tapi tidak semua orang itu sama pemikirannya. Orang suka menilai atau bahkan mengkoreksi orang lain. Tapi orang lain lupa dia menilai orang lain itu baik menurut versinya dia sendiri. Sementara ukuran kebaikan setiap orang itu sangat berbeda-beda.

Kita sebenernya ingin memperbaiki apa yang kita lihat dan kita dengar. Tapi bagaimana proses kita tumbuh itu memengaruhi apa yang kita kerjakan. Bro, sist, maafin misal sakit baca ini.

Comments

Popular Posts